Masa Lalu




Pukul 08.00 malam, suara gaduh terdengar dari kamar Feri dan Fero. Ternyata, sedang memperebutkan kerupuk  yang dibeli suamiku di Bandung tempo hari. Sedikit tergopoh-gopoh, aku menghampiri mereka.

“Feri, Fero, jangan rebutan, Nak! Di lemari dapur masih ada,” bujukku, melerai.

“Mas Feri, Ma! Dia ambil kerupuk punyaku, padahal kan bisa ambil sendiri. Di ruang televisi ada, kok,” rengek Fero.

“Hanya minta sepotong, Ma. Masa nggak mau kasih!” Feri membela diri.

“Sudah ..., sudah! Sekarang, ayo saling memaafkan. Beberapa hari lagi kita akan menyambut bulan suci Ramadhan. Jadi, nggak boleh bertengkar ya, apalagi sama saudara sendiri.” Nasehatku pada keduanya.

Akhirnya, Feri dan Fero saling menyodorkan tangan, meminta maaf.

“Nah ..., itu baru anak Papa. Sekarang kita bobo, ya!” ucap suamiku, tanpa disadari telah berdiri di dekat daun pintu.

“Papa ...!” teriak anak-anak berhamburan.

Usai menina bobokan anak-anak, aku dan suami beranjak ke ruang televisi. Di meja, bersebelahan dengan tempat duduk, toples kerupuk sedikit terbuka. Aku meraihnya.

“Hmm ..., ini yang direbutkan anak-anak, Pa. Jadi teringat masa kanak-kanak, dulu sempat cemberut karena mendapatkan sepotong kerupuk dari adik Mama yang nggak suka makan sayur, padahal Ibu hanya mampu membeli sayur singkong,” kenangku masa kecil.

            Tanpa disadari, episode masa lalu pun tersiar ulang di memoriku.

***

Samar-samar suara azan terdengar,  semakin redup disebabkan gaduh kedua adikku.

“Anak-anak, ayo berbuka! Azan telah berkumandang,” ajakan Ibu sembari membuka tudung saji.

Kami berlarian, memburu ruang santap keluarga. Di atas meja yang telah dimakan usia, terhidanglah lima gelas teh hangat dan lima potong kue. Meskipun ukuran kue tak seberapa, namun sudah merupakan rezeki yang luar biasa buat keluargaku. 

Aku dan adik-adik selalu rebutan, ingin kue yang sedikit lebih besar dari yang lain. Pernah suatu ketika, si bungsu menangis karena merasa kue miliknya berukuran kecil. Hingga kemudian Ibu merelakan jatah kue untuk adik.

“Selesai berbuka, kalian ambil wudu ya! Kita salat Maghrib berjamaah,”  pesan Ibu.

“Iya, Bu ...!” Kami menjawab serentak.

Acara berbuka selesai, salat Maghrib telah tunai. Kami berlima segera menuju ruang santap. Tanpa sabar, kubuka kotak kayu bersusun sebagai penyimpan makanan dengan wajah berbinar, berharap akan ada makanan lezat malam ini. Namun, yang kutemukan hanya sepiring sayur singkong berkuah, di piring kecil lainnya berisi sambal terasi dan sebakul nasi putih. Kuraih kemudian menghamparkannya di meja makan.

“Aku nggak mau makan!” ucap adik, merajuk.

“Kenapa, Sayang? Sayurnya enak, kok!” Ibu melayangkan sesuap nasi dengan sayur singkong ke adik. Namun, ia tetap tidak mau makan dan hanya menutup mulut.

“Belikan saja kerupuk untuknya, Wen!” Ayah berseru, “Ambil uang di saku baju kerja Ayah!” sambungnya.

Dengan langkah kecil menuju kamar Ayah dan Ibu, kudapati baju kerja sedikit lusuh menggantung di balik daun pintu.  

‘Ya ..., hanya bisa beli satu kerupuk,’ gumamku.

Dengan wajah sedikit dilipat, aku menghampiri Ayah.

“Dapat nggak uangnya?” tanya ayah.

“Dapat, Yah! Tapi hanya seribu,” ucapku lesu.

“Ya sudah! Beli kerupuknya, nanti di bagi tiga!” timpal Ibu.

Dengan langkah gontai, menuju warung. Padahal, sempat berharap bisa mendapatkan kerupuk utuh, namun ternyata keinginan itu di luar skenarioku. Ayah bekerja serabutan, sehingga sangat langka sekali dapat menemukan uang lebih di saku kerjanya. Sedangkan Ibu, bekerja sebagai asisten rumah tangga, itu pun gajinya perbulan cukup untuk memenuhi kebutuhan sekolahku dan menutupi kebutuhan makan sehari-hari.

“Weni, kita main yok!” sebuah suara mengagetkanku datang dari arah Timur. Saat menoleh, ternyata Aini.

Nggak, Ni! Aku harus pulang, adikku menunggu,” 

“Ya sudah deh, besok aja kita mainnya! Kamu nggak Tarawih, Wen?” tanyanya.

“Tarawih, Ni! Nanti aku jemput ke rumah ya!” timpalku. Aini menganggukkan kepala.

***

Seketika aku terperanjat, saat menyadari toples telah berpindah tangan.

“Ya sudah, Ma! Nasib orangtua dan anak tentu berbeda. Jika dulu hidup serba kekurangan, setidaknya sekarang kita bisa membahagiakan kedua orangtua,” suamiku berujar.

Rasa haru menganak sungai, tanpa disadari bening kristal menggantung di kelopak mataku. Tak dapat terlukiskan betapa besar rasa syukur ini.

Kupandang wajahnya dalam-dalam, sembari mengucap syukur. Bersyukur atas anugerah yang diberikan Tuhan pada keluarga kecilku.


Komentar

  1. Ini based on true story atau fiksi, mba? Wah, jd merasa punya teman seperjuangan. Baca deskripsi blog nya, saya jd terharu :")..

    Mudah2an barakah mba, mimpi novel kolaborasi dgn suami. Romantis bgt :")

    BalasHapus
    Balasan
    1. ini cerita fiksi mbak. Hanya ada beberapa bagian yang nonfiksi.

      Aamiin. Terima kasih sudah mau mampir mbak :)

      Hapus

Posting Komentar

Terima kasih telah berkunjung serta berkenan meninggalkan komentar dan masukan. Dimohon untuk tidak menanam link. :)

Postingan Populer